PARIMO, theopini.id – Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah, angkat bicara menanggapi tentang pembukaan perusahaan batu pecah di Desa Lemusa, Kecamatan Parigi Selatan.
“Soal usaha batu pecah itu, kami belum menerima laporan, baik dari pemerintah desa maupun masyarakat setempat,” ungkap Kepala Bidang Tata Ruang, pada Dinas PUPRP Parimo, I Wayan Sukadana saat ditemui di Parigi, Rabu 23 Februari 2022.
Dia mengatakan, usaha batu pecah merupakan aktivitas tambang batuan, yang harus mengantongi izin beroperasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dalam proses pengurusan izin kata dia, yang pertama harus dilakukan perusahaan, yakni penyesuaian lokasi ke wilayah sungai pada OPD terkait di Provinsi Sulawesi Tengah.
Kemudian, jika telah mendapatkan penyesuaian lokasi tersebut, dilanjutkan dengan pengurusan rekomendasi di bidang tata ruang pada Dinas PUPRP Parimo, sebagai pemilik wilayah.
“Penyesuaian itu, untuk memastikan betul atau tidak, apakah di sungai Lemusa ada bebatuan yang bisa di tambang. Kalau kami sudah keluarkan rekomendasi, baru dapat melanjutkan perizinannya,” jelas Wayan.
Menurut dia, apabila pihak perusahaan mengklaim sedang mengurus Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Jakarta, langkah tersebut bisa saja dilakukan.
Namun meskipun telah megantongi IUP, perusahaan tidak serta merta dapat beroperasi, karena analisis lingkungan harus diusulkan terlebih dahulu, berdasarkan rekomendasi pihaknya.
“Semua penambang itu wajib mengurus analisis lingkungannya. Tahun kemarin sampai saat ini belum ada laporan pengusurusan tambang, kami juga belum tahu lokasi usaha itu di mana,” kata dia.
Wayan menuturkan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) juga setempat menyampaikan informasi terkait pembukaan perusahaan batu pecah, dan akan melakukan pengecekan lokasi.
“DLH sudah sampaikan ke kami. Kita tinggal menunggu, apakah mereka mau mengajak kami untuk turun bersama atau seperti apa nantinya,” ujarnya.
Seharusnya kata dia, pemerintah desa lebih proaktif dalam menyikapi persoalan tersebut, dengan melaporkan kepada pihaknya terkait adanya aktivitas pertambangan, yang masuk tanpa izin.
Kemudian, pihak perusahaan pun sebaiknya tidak melakukan kegiatan apapun di lokasi usaha, sebelum proses perizinan dilengkapi, dan diketahui oleh pemerintah desa serta masyarakat setempat.
Dia menilai, kurangnya komunikasi antara perusahaan dan pemerintah desa mengakibatkan, pembukaan usaha batu pecah tersebut, mengalami pro dan kontra. Ditambah lagi, masyarakat tidak lebih dulu diberikan sosialisasi.
“Perusahaan harusnya sosialisasi dulu, apakah itu diizinkan atau tidak, jangan sampai ketika ada permasalahan, pemerintah desa yang disalahkan,” pungkasnya.
Sebelumnya, pembukaan perusahaan batu pecah di Desa Lemusa, menuai pro dan kontra. Pasalnya, pihak perusahaan disebut-sebut tak melakukan sosialisasi kepada masyarakat setempat.
Sehingga, menimbulkan kekhawatiran akan dampak lingkungan dari pengelolaan batu pecah tersebut. Apalagi jarak antara lokasi pengelolaan batu pecah hanya sekitar 300 meter, dari lokasi pemukiman warga.
“Awal pembukaan lahan itu, setahu saya hanya untuk usaha kopra putih. Bahkan, mereka berjanji akan memberdayakan masyarakat setempat. Tetapi, belakangan ternyata dibuka untuk usaha batu pecah,” ungkap Kepala Lemusa, Rais Mansur, saat ditemui, Minggu 20 Februari 2022.
Laporan : Novita Ramadhan
Komentar