PARIMO, theopini.id – Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah resmi menetapkan status siaga darurat bencana non-alam malaria, setelah terjadi peningkatan kasus secara signifikan sejak akhir 2024. Padahal, daerah ini sebelumnya sudah tiga tahun berturut-turut bebas malaria dan memperoleh sertifikat eliminasi dari Kementerian Kesehatan.
“Sekitar tiga bulan setelah menerima sertifikat eliminasi malaria, kasus baru ditemukan kembali di akhir 2024. Bahkan penularannya bersifat lokal, karena pasien tidak bepergian ke luar daerah. Kasus pertama muncul di Kecamatan Moutong,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Parigi Moutong, Yunita Tagunu, dalam Bimbingan Teknis Penanggulanganan Penyakit di Parigi, Selasa, 23 September 2025.
Baca Juga: Kasus Malaria di Parimo Didominasi Moutong, Kemenkes Rekomendasikan RDT
Menurutnya, hingga September 2025 tercatat 200 kasus malaria, dengan 191 sembuh dan 9 pasien masih menjalani perawatan.
Kecamatan Moutong menjadi penyumbang terbanyak dengan 126 kasus, dengan rincian 50 rawat jalan dan 76 rawat inap. Kurva kasus menunjukkan puncak pada minggu ketiga Juni 2025 dengan beberapa puncak lanjutan hingga September 2025.
Dari hasil analisis, sekitar 80 persen kasus malaria di Kabupaten Parimo berkaitan dengan aktivitas penambangan. Warga yang sehari-hari terdaftar sebagai petani, ibu rumah tangga, maupun pelajar, banyak yang tertular karena bekerja di tambang rakyat.
“Mayoritas penderita adalah laki-laki usia di atas 30 tahun (59 persen), dengan gejala utama demam, sakit kepala, dan menggigil,” jelas Yunita.
Penularan diperparah oleh banyaknya kubangan bekas tambang yang menjadi sarang nyamuk Anopheles. Di Kecamatan Moutong sendiri, hasil pemeriksaan jentik menunjukkan kepadatan larva cukup tinggi di sekitar lokasi tambang.
Dinas Kesehatan Parimo mencatat kasus malaria tersebar hampir di seluruh kecamatan. Dari 24 wilayah kerja Puskesmas, hanya enam Puskesmas yang tidak melaporkan kasus sama sekali.
Sebanyak delapan Puskesmas ditetapkan sebagai fokus penanganan, karena terjadi penularan lokal (indigenous). Selebihnya, kasus yang muncul dikategorikan sebagai impor dari luar wilayah.
Kasus malaria di Kabupaten Parimo didominasi oleh Malaria Vivax, disusul Falciparum, serta sebagian kecil kombinasi lainnya. Pemeriksaan dilakukan dengan Rapid Diagnostic Test (RDT), namun sekitar 16 persen masih perlu konfirmasi mikroskopis.
“Keterbatasan alat mikroskop di beberapa Puskesmas menjadi catatan penting bagi kami. Idealnya semua kasus diperiksa dengan mikroskop, tetapi SDM dan fasilitas belum merata,” ujar Yunita.
Kasus meningkat cepat sejak awal 2025. Pada Juni, Dinas Kesehatan melaporkan adanya penularan lokal berulang. Hingga 14 Agustus 2025, Bupati Parimo menetapkan status siaga darurat bencana non-alam malaria, menyusul laporan resmi dan hasil evaluasi Satgas.
“Malaria tidak bisa ditangani hanya oleh tenaga kesehatan. Karena itu, lintas sektor dilibatkan, termasuk Dinas Perhubungan, PU, pemerintah kecamatan, hingga kader desa,” kata dia.
Satgas malaria melakukan berbagai langkah darurat, di antaranya:
- Pemeriksaan massal (MBS) di delapan Puskesmas dengan target 80 persen masyarakat diperiksa dalam 7 hari.
- Pengobatan tuntas dengan pemantauan minum obat oleh kader desa agar pasien tidak kambuh dan kembali menularkan.
- Penyelidikan epidemiologi setiap kasus baru untuk memastikan sumber penularan.
- Pengendalian vektor dengan larvasidasi, penyemprotan dinding, distribusi kelambu, penggunaan lotion anti-nyamuk, serta himbauan memakai pakaian panjang pada malam hari.
- Kerja sama lintas sektor, termasuk penutupan genangan bekas tambang oleh Dinas PU.
“Upaya pengendalian vektor menjadi prioritas. Kubangan bekas tambang yang tidak ditutup terbukti menjadi sarang nyamuk. Di Kecamatan Moutong dan Lambunu, jentik Anopheles ditemukan dalam jumlah tinggi,” tegas Yunita.
Letak geografis Kabupaten Parimo yang berbatasan dengan Pohuwato, Provinsi Gorontalo dan Kecamatan Sausu dengan Kabupaten Poso juga menjadi tantangan.
Baca Juga: DPRD Parimo: Penanganan Malaria Tak Efektif Tanpa Hentikan Tambang Ilegal
Dua kabupaten itu, masih mencatat kasus malaria tinggi, sehingga mobilitas penduduk berpotensi membawa kasus impor ke Kabupaten Parimo.
“Setelah memperoleh sertifikat eliminasi, kegiatan pemeliharaan seperti skrining ibu hamil atau surveilans aktif berkurang. Ini pelajaran bagi kita semua, bahwa eliminasi bukan berarti bebas selamanya. Perlu pemeliharaan berkelanjutan,” pungkasnya.
Baca berita lainnya di Google News
Komentar