Theopini.id – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mengungkapkan, penyebab utama yang membuat kasus korupsi masih kerap terjadi.
“Sebagaimana hasil analisis yang telah dilakukan Kemendagri, penyebab pertama yakni masih adanya sistem yang membuka celah terjadinya tindakan korupsi. Termasuk di dalamnya, sistem administrasi pemerintahan yang tidak transparan, politik berbiaya tinggi, dan rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) dengan imbalan,” ungkap Tito di Jakarta, dalam keterangan resminya, Senin 24 Januari 2022.
Hal itu disampaikan Mendagri pada Rapat Kerja bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), dengan Kepala Daerah dan Ketua DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota se-Indonesia secara virtual dari Ruang Sasana Bhakti Praja (SBP), Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Senin.
Tito membeberkan, sejumlah penerapan administrasi pemerintahan yang membuka peluang terjadinya tindakan korupsi. Di antaranya, seperti sistem yang masih mengandalkan pertemuan fisik, alur birokrasi yang berbelit-belit, dan regulasi yang terlalu panjang.
Dia menyebut, penerapan sistem administrasi pemerintahan seperti itu berpotensi memunculkan tindakan transaksional. Oleh karena itu, perlunya penerapan sistem administasi pemerintahan yang lebih transparan dan mengurangi kontak fisik.
Salah satunya, melakukan pemanfaatan layanan digitalisasi di berbagai bidang, mulai dari perencanaan hingga eksekusi kebijakan. Sebab, hal itu yang memunculkan konsep smart city, smart government, dan e-government.
“Banyak saya kira hal-hal tindak pidana korupsi by system karena sistemnya, oleh karena itu perbaikan sistem perlu kita lakukan,” ujarnya.
Sementara itu, penyebab kedua yakni terkait dengan kurangnya integritas yang dimiliki individu, sehingga memunculkan tindakan korupsi.
Menurutnya, hal itu juga didorong dengan kurangnya kesejahteraan yang didapatkan oleh penyelenggara negara. Sehingga, aspek kesejahteraan perlu dipikirkan untuk mencegah terjadinya korupsi. Meskipun tidak sepenuhnya menjamin mampu menghilangkan perilaku korup.
“Tapi yang hampir pasti kalau semua kurang ya dia berusaha untuk mencari dan akhirnya melakukan tindak pidana korupsi,” ungkapnya.
Penyebab ketiga, yakni terkait dengan budaya (Culture). Pasalnya, seringkali ditemukan praktik-praktik yang salah, tapi dianggap benar karena kebiasaan. Ia mencontohkan, adanya pimpinan yang menganggap prestasi bawahan diukur dari loyalitas yang salah kaprah.
“Budaya-budaya (korupsi) ini harus dipotong, dan ini memerlukan kekompakan dari atas sampai dengan bawah, memiliki satu mindset, frekuensi yang sama,” kata dia.
Tito menekankan, tindak pidana korupsi harus ditekan seminimal mungkin untuk mewujudkan pemerintahan bersih. Sebab, dengan terselenggaranya pemerintahan bersih, diharapkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan kesejahteraan ASN akan ikut meningkat.
“Kesejahteraan ASN, misalnya, itu akan dapat didongkrak dan naik, sehingga salah satu solusi (yaitu) untuk menekan tindak pidana korupsi,” tuturnya.
Dia pun berpesan, penyebab-penyebab tersebut perlu diatasi. Namun, upaya itu memerlukan kekompakan dari struktur paling atas hingga jajaran terbawah. Ia sendiri mengaku telah menyampaikan hal itu kepada jajarannya.
Sumber : Puspen Kemendagri
Komentar