PARIMO, theopini.id – Sejumlah masyarakat Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah, mendesak DPRD setempat segera merevisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Pasalnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat menolak mendaftarkan sertifikat ratusan lahan milik masyarakat, akibat dampak dari pengesahan Perda LP2B pada akhir 2021.
“Setelah menerima laporan dan melakukan pengecekan langsung ke BPN, ternyata benar. Proses kepengurusan lahan sertifikasi masyarakat, menemui kendala karena bunyi sertifikat itu lahan pertanian. Tidak bisa disertifikatkan, karena berkaitan dengan alih fungsi lahan yang sudah di backup dengan Perda LP2B,” ungkap perwakilan masyarakat Kabupaten Parimo, Arif Alkatiri, Jum’at 18 Maret 2022.
Hal itu diungkapkan Arif Alkatiri, dihadapan Wakil Ketua DPRD Parimo , Alfres Tonggiroh dan sejumlah anggota DPRD diruang aspirasi gedung DPRD, Jum’at.
Arif yang juga pernah menjabat sebagai anggota DPRD Parimo itu, mengatakan, masyarakat yang melakukan pendaftaran sertifikat lahan, disarankan berkoordinasi dengan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultira dan Perkebunan (DTPHP) serta Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruangan, dan Pertanahan (PUPRP) setempat.
Dari hasil koordinasi tersebut, pihaknya menyimpulkan lampiran Perda LP2B 2021 tersebut, terkesan abal-abal. Sebab, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam penyusunan Perda tersebut, seharusnya diintegrasi ke RTRW.
Kemudian, terdapat kontradiksi antara Perda LP2B dengan Rencana Detai Tata Ruang (RDTR) Kota Parigi, ketika disandingkan.
“Penetapan-penetapan kawasannya bersinggungan. Saya contohkan beberapa tempat, ada sejumlah kawasan BTN yang masuk dalam LP2B. Padahal, jelas dalam Perda itu ada sanksi berat,” tegasnya.
Menurutnya, ketika lahan pertanian yang masuk dalam LP2B diubah menjadi kawasan perumahan atau pemukiman, maka masyarakat yang melakukan tindakan itu dapat dituntut.
Bahkan, saksi terberat pelaku alih fungsi lahan pertanian akan diberikan sanksi, yakni mengembalikan kondisi lahan tersebut ke keadaan semula.
“Kami sudah coba sejak kemarin, melakukan koordinasi dengan DTPHP dan Dinas PUPRP, memang benar ada perbedaan data,” ungkapnya.
Arif pun berpikir, pengesahan Perda LP2B yang terkesan tak melalui proses kajian mendalam, hanya untuk mengejar kepentingan tertentu. Tetapi menafikan persoalan lain, dan kemungkinan akan berlaku keseluruh wilayah di Kabupaten Parimo.
“Tapi di dalam Perda tersebut disebutkan, aturan itu akan dievaluasi dalam lima tahun berikutnya. Ini juga akan menjadi masalah, karena proses pembangunan untuk wilayah Kota Parigi saja sedang berjalan, meskipun sudah ada RDTR,” tegasnya.
Senada dengan itu, perwakilan masyarakat Parimo lainnya, Muhammad Safi’i Damar menilai, proses pembuatan regulasi terkesan amburadul. Sebab, pihaknya menduga pengesahan Perda LP2B tidak melalui berbagai tahapan.
“Kalau melalui tahapan tentukanya tidak ada yang meleset, seperti yang terjadi hari ini. Bayangkan Perda LP2B itu, salah satu produk legislasi yang akan menghambat pembangunan. Secara tidak langsung merampas hak-hak rakyat,” tegasnya.
Apabila mengacu pada RDTR, lokasi yang masuk dalam pengembangan wilayah kota, seharusnya bisa diselamatkan. Permasalahanya, saat ini masyarakat telah melakukan perencanaan pembangunan dilahan milik mereka.
“Contohnya, saya sudah kavling lahan milik saya dan sudah ada beberapa orang yang membeli. Tapi ketika pembeli itu mau mengurus pemisahan sertifikat, tidak bisa dilakukan,” kata dia.
Safi’i pun mempertanyakan proses kajian dalam penyusunan regulasi yang dilakukan DPRD. Ia meyakini, Perda LP2B tidak melalui uji publik, meskipun memiliki naskah akademi, namun tetap akan berbenturan dengan faktual di lapangan.
“Kami minta Perda itu dikaji kembali. Permohonan kami Perdanya dicabut, karena banyak hal yang akan kita korbankan, akan ada konflik horizontal diakibatkan kebijakan itu,” tegasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPRD Parimo, H. Suardi pun membenarkan hal tersebut. Namun, ia tidak bersepakat jika permasalahan yang terjadi pada penyusunan Perda LP2B tersebut, hanya menyalahkan salah satu pihaknya saja.
Sebab, dalam penyusunan regulasi tersebut terdapat informasi yang tidak jelas dari pemerintah, sehingga dalam lampiran Perda LP2B dilakukan tidak dengan kehati-hatian.
Sehingga, masih menggunakan data lama, dan telah mengalami banyak perubahan, dari lahan persawahan yang saat ini telah menjadi perkotaan hingga pemukiman.
“Pada saat sosialisasi, permasalahan yang muncul bukan hanya persoalan itu. Ditempat lain, ada masalah sistem poligon. Ditekankan masyarakat harus menghibahkan lahan mereka. Jadi sepanjang dunia masih ada, tidak dapat dialih fungsikan,” ungkapnya.
Pihaknya pun telah meminta DPHP setempat untuk melakukan peninjauan kembali. Sebab, sesuai dengan perintah undang-undang, meskipun benar lahan tersebut merupakan lokasi pertanian, namun harus ada persetujuan hibah secara fungsional dari masyarakat.
“Contohnya, kalau hamparan sawah itu 100 hektar tidak ada perumahan, tapi hanya satu hektar saja masyarakat mau memasukannya LP2B, itu saja,” jelasnya.
Dia menyakini, Ketua Pansus Perda LP2B, yang dijabat I Ketut Mardika saat itu, tidak mengetahui persis persoalan tersebut.
Ditambah lagi, adanya informasi dari DPHP, bahwa bila tidak secepatnya dilakukan pengesahan Perda tersebut, maka Dana Alokasi Khusus 2022 akan dipangkas oleh pemerintah pusat.
“Itu kemarin ada dana DAK yang dikejar. Pemerintah tidak terbuka juga yang diinginkan itu, sehingga DPRD tidak hati-hati dalam pembahasan itu. Jadi saya minta agar tidak berpolemik, dilakukan konsultasi untuk direvisi luasannya. Kalau memang tidak bisa, ditinjau kembali untuk dibatalkan Perda ini, saya juga tidak sependapat,” tegasnya.
Komentar