Korban Seluruhnya

Di mulut sebuah gua, di hadapan lembah, pada satu sore, tiga tahun yang lalu, Mizwar dan Mira memikir-mikirkan masa depan desa mereka. Di tanah kelahiran mereka itu, bentangan alam telah dirampas dan dijamah oleh para kaum kapitalis yang serakah. Karena itu, mereka bersepakat untuk melakukan perlawanan.

Mereka pun bertemu di titik rahasia yang jauh dari pandangan orang-orang demi menutupi kedekatan mereka, demi cita-cita besar mereka. 

“Kau setuju atau tidak, aku akan melakukannya. Aku akan menikah dengannya,” tegas Mira, setelah menguraikan rencana usulannya. 

Mizwar jadi kelimpungan. Ia sungguh tak tega kalau kekasihnya menjadi tumbal perjuangan dan menghancurkan impian pribadinya untuk hidup bersama. “Tetapi hubungan kita terlalu berharga untuk dikorbankan. Aku yakin, pasti ada cara lain.”

“Dengan cara apa, he?” sergah Mira, dengan tatapan kalut.

Mizwar terdiam. Bingung. 

“Pokoknya, aku akan menerima lamarannya demi harapan kita, juga demi kehormatan semua warga dan leluhur desa kita. Jadi, aku minta, jadilah penantang untuknya. Aku yakin, kau bisa memimpin desa kita dengan baik,” timpal Mira. 

Selama sekian lama, Mizwar merenung dan mempertimbangkan segalanya. Sampai akhirnya, ia bersepakat, “Baiklah. Aku setuju kalau itulah yang engkau mau.”

Waktu bergulir cepat. Kini, Mizwar maju sebagai calon kepala desa. Ia berhasrat mengalahkan kepala desa petahana dalam gelaran Pilkades mendatang. Ia ingin menjadi pemimpin desa untuk mengembalikan semua yang telah tercuri dari dirinya, juga dari sekalian warga desa yang lemah. Apalagi, ia telah merelakan cintanya, dan itu selayaknya diimpaskan dengan kemenangan. 

Tetapi kehendak Mizwar itu, merupakan sebuah tantangan yang besar. Sejak awal memutuskan maju sebagai penantang, banyak warga yang ragu kalau ia akan mampu menumbangkan petahana dalam perebutan suara.

Itu karena ia tak punya modal apa-apa yang diperlukan dalam pertarungan politik. Ia tak punya uang, relasi, dan pengaruh personal. Ia hanya seorang pemuda tamatan SMA yang hidup sebagai petani kelapa sawit dengan lahan yang sempit. 

Sebaliknya, calon petahana memiliki modal politik yang besar. Sarjana hukum itu, merupakan putra seorang mendiang purnawirawan yang kaya raya.

Ia juga merupakan ipar dari pemilik perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menguasai lahan desa yang sangat luas. Dan tentu, setelah memimpin desa selama hampir satu periode, kekuatannya makin bertambah. Ia makin kaya, makin banyak relasi, dan makin berpengaruh. 

Latar belakang memang membuat sang petahana punya sokongan politik yang besar. Dahulu, ayahnya yang seorang tentara merupakan pengurus dibukanya sebagian lahan hutan desa untuk menjadi lahan perkebunan bagi pensiunan prajurit dan rakyat biasa melalui program transmigrasi. Ayahnya lalu membawa keluarga dekatnya dari pulau seberang, hingga mereka beranak pinak dan menjadi kesatuan keluarga yang sangat besar. 

Pada waktu kemudian, di tengah lesunya aktivitas perkebunan warga karena tanaman pertanian seperti kakao mulai terserang penyakit dan harganya anjlok, akhirnya, datanglah pemodal besar dari ibu kota atas tawaran ayahnya selaku tokoh desa.

Sang pengusaha lalu membeli lahan warga secara besar-besaran, kemudian menanaminya dengan kepala sawit. Untuk kestabilan dan kemajuan proyek tersebut, sang pengusaha dan ayahnya lalu sepakat untuk menikahkan anak mereka yang kemudian menjadi pengelola perusahaan perkebunan.

Tetapi kehadiran perusahaan itu, kemudian menimbulkan permasalahan di tengah masyarakat. Dengan prinsip yang kapitalistik, pihak perkebunan terus memperluas lahan dengan menyerobot hutan lindung dan merampas tanah warga yang belum bersertifikat.

Pihak perusahaan bisa melakukan itu dengan mudah, sebab mereka punya uang dan relasi dengan penguasa, sehingga mudah bagi mereka untuk mendapatkan legalisasi atas aksi bejat mereka. 

Maka, untuk membangun citra yang baik, pihak perusahaan pun menawar protes warga dengan membangun fasilitas umum dan memberikan bantuan sosial. Mereka juga gencar menyelenggarakan kegiatan olahraga dan bakti sosial.

Mereka bahkan kerap mengadakan kegiatan keagamaan dengan mengundang penceramah kondang. Dengan begitu, perlahan-lahan, kekesalan warga atas keserakahan dan kesewenang-wenangan pihak perusahaan, jadi mereda. 

Demi menjamin langgengnya kejayaan yang kapitalistik, pihak perusahaan kemudian berupaya mendudukkan orang-orang mereka di dalam pemerintahan. Mereka menyokong dan memodali para kontestan politik yang sedia mendukung kepentingan perusahaan mereka.

Siasat itu mereka terapkan di tingkat pemerintahan desa sampai provinsi. Dan salah satu hasilnya adalah sang kepala desa petahana yang tiada lain adalah ipar sang bos perusahaan atau saudara istri sang bos.

Di tengah kungkungan kekuasaan, warga desa pun jadi tak berdaya melawan kehendak pihak perusahaan perkebunan. Beberapa warga yang kehilangan lahan, akhirnya pasrah menjadi karyawan di perusahaan tersebut.

Namun beberapa yang lain, kukuh bertahan di bawah penindasan dan tetap memendam hasrat perlawanan, sebagaimana Mizwar yang hanya memiliki sepetak kebun setelah sebagian besar lahan milik ayahnya dicaplok oleh pihak perusahaan. 

Hasrat perlawanan Mizwar kemudian makin berkobar setelah ia memadu kasih dengan Mira yang juga punya kehendak untuk memberangus oligarki kapitalistik tersebut. Tekad Mira dipacu oleh alasan yang serupa dengan alasan Mizwar.

Ia dendam dan sakit hati sebab pihak perusahaan yang bekerja sama dengan aparat pemerintah dan badan pertanahan, telah merampas seluruh tanah milik orang tuanya yang belum bersetifikat.

Atas kebiadaban pihak perusahaan yang difasilitasi oleh sang kepala desa petahana, Mira sekeluarga pun kehilangan sumber penghidupan. Dengan terpaksa, orang tuanya lantas melanjutkan kehidupan dengan menjadi buruh tani.

Mereka mengerjakan lahan warga yang lain dengan sistem bagi hasil. Mereka menolak tawaran dari pihak perusahaan untuk menjadi karyawan perkebunan. Mereka tak sudi bekerja untuk para perampas lahan mereka.

Tetapi sebaliknya, dengan tujuan yang khusus, yang juga merupakan amanat ayah dan ibunya, Mira yang masih gadis mengambil langkah yang berbeda dengan menjadi karyawan perusahaan.

Pada awalnya, ia bekerja sebagai buruh kasar yang terjun langsang merawat tanaman sawit. Namun perlahan-lahan, karena keuletannya, karirnya terus menanjak, hingga ia menduduki posisi eksekutif, yaitu sebagai pengawas proses panen.

Pada waktu kemudian, atas kecerdasan dan kecantikannya, Mira pun berhasil mencuri perhatian sang kepala desa yang kerap mondar-mandir di kawasan perkantoran perusahaan untuk urusan kongkalikong administrasi. 

Hari demi hari, ia dan sang kepala desa yang berstatus duda, terus membangun keakraban. Hingga akhirnya, ia mendapatkan ajakan menikah dari sang lelaki yang dahulu merupakan mahasiswa yang gagal sarjana, juga merupakan mantan bos preman di kota.

Dengan alur siasat yang berjalan sesuai rencana, Mira lalu mengobrolkannya dengan Mizwar. Dengan berat hati, demi mencapai cita-cita perlawanan mereka, Mizwar pun memasrahkan sang kekasih menikah dengan sang kepala desa petahana.

Sebuah restu yang getir, yang membuatnya benar-benar ingin mengalahkan sang kepala desa pada gelaran Pilkades. Ia bertekad berhasil, sebab ia telah menumbalkan hal yang paling beharga di dalam hidupnya.

Akhirnya, atas dendamnya kepada pihak perusahaan, kekesalannya kepada sang kepala desa, dan janjinya kepada Mira, Mizwar pun mendaftarkan diri sebagai calon kepala desa untuk melawan sang petahana.

Ia maju dengan gagah berani, meski banyak orang yang secara terang-terangan menyepelekannya, bahkan meledeknya. Ia maju dengan keyakinan bahwa ia akan menang, seturut dengan tujuan akhir rencana yang telah ia sepakati dengan Mira.

Waktu bergulir cepat. Akhirnya, momentum pembuktian terhadap kejituan taktik perjuangan Mizwar dan Mira, datanglah juga. Hari ini, beberapa saat yang lalu, penghitungan suara Pilkades, telah digelar. Dan hasilnya, sungguh jauh dari dugaan banyak orang pada awal-awal waktu penyelenggaraan proses pilkades.

Ternyata, Mizwar benar-benar berhasil mengungguli suara sang kepala desa petahana. Bahkan Mizwar mampu meraup 71% suara. 

Setelah proses penghitungan suara mengukuhkan Mizwar sebagai pemenang, para warga desa pun riuh dan mengelu-elukannya. Mereka tampak begitu senang karena berhasil memenangkan pemimpin baru yang mereka yakin akan jauh lebih baik dalam memimpin desa ketimbang pemimpin sebelumnya. 

Beberapa lama kemudian, dengan raut kalut, sang kepala desa petahana yang telah kalah telak, akhirnya pulang dengan Mira, istrinya, menggunakan mobil mewah. Tanpa henti-hentinya, para warga mengiringi langkah keduanya dengan sorakan mengejek.

Mereka tampak sama sekali tak mengetahui kalau mereka sedang menyoraki seorang penindas dan seorang pahlawan. Mereka tak mengetahui kalau aib sang petahana yang mencuat dan menyebar di tengah masyarakat, merupakan hasil kerja rahasia Mira.

Serangkaian bocoran aib berupa rekaman video pembicaraan dan penawaran uang dalam jumlah besar dari pihak perusahaan kepada kepala desa petahana jikalau bisa memuluskan keinginan perusahan untuk ekspansi lahan ke kawasan hutan lindung serta kawasan situs bersejarah dan pekuburan tetua desa. 

Di sela-sela keriuhan warga itu, mata Mizwar pun berhasil menembak mata Mira, dan ia bisa membaca kalau Mira menyiratkan kesenangan atas keberhasilan rencana mereka. Tetapi ia juga tak bisa mengelakkan siratan kepiluan dari pandangan pujaan hatinya itu atas cinta mereka yang telah terkubur hidup-hidup sebagai tumbal perjuangan.***

Ramli Lahaping. Penulis cerpen kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Facebook (Ramli Lahaping).

Komentar