Sejarah Lokal Terancam Hilang, Penulis Diminta Berani Mulai dari Topik Kecil

PARIMO, theopini.id – Kekhawatiran hilangnya sejarah lokal akibat budaya tutur yang tidak diimbangi budaya tulis, menjadi alasan utama digelarnya pelatihan penulisan sejarah lokal di Rumah Peduli SKP-HAM Sulawesi Tengah di Palu, Rabu, 10 September hingga Kamis, 11 September 2025.

“Output kegiatan ini adalah buku, untuk memperkaya khasanah penulisan sejarah Sulawesi Tengah yang masih jauh dari harapan,” kata inisiator kegiatan yang lolos seleksi fasilitasi pemajuan kebudayaan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVIII 2025 (Sulbar–Sulteng), Jefrianto di Palu, Rabu, 10 September 2025.

Baca Juga: Negara Jangan Lalai Menulis Ulang Sejarah dan Mengusut Tragedi Kemanusiaan

Ia menegaskan, sejarah bukan hanya milik akademisi atau sejarawan, tetapi juga milik siapa saja yang peduli pada ingatan masa lalu daerahnya.

Karena itu, ia mengajak para peserta untuk menuliskan cerita-cerita lokal, agar tidak hilang ditelan zaman.

Pada hari pertama, Sejarawan Wilman D. Lumangino memaparkan pentingnya menulis sejarah lokal dengan merujuk empat kategori studi dari Taufik Abdullah, yakni studi peristiwa khusus, struktur, perkembangan aspek tertentu dalam kurun waktu tertentu, dan studi sejarah umum.

“Kategori sejarah itu ada pelaku sejarah, menyaksikan, yang diceritakan, yang mampu menceritakan kembali. Selain itu, perlunya keberagaman sumber dan penggunaan referensi dasar,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya menggunakan sumber sezaman untuk memahami “jiwa zaman” yang tengah ditulis.

Menurutnya, penulis bisa memulai dari hal-hal kecil dan spesifik yang dekat dengan keseharian masyarakat.

Sementara itu, akademisi sekaligus sejarawan Dr. Ilham Dg. Makkelo memperkenalkan metode penulisan sejarah dan cerita warga dengan pendekatan sejarah publik.

Baca Juga: Catat Situs Sejarah Uwesama dari Tutur Suku Kaili Lewat Jelajah Budaya

“Sejarah publik ruang lingkupnya lebih luas karena sifatnya bisa mencakup apa saja yang ada di masyarakat. Ini satu istilah yang meliputi seluruh aktivitas kesejarahan di luar sejarah akademik,” ujar Ilham.

Pelatihan ini, diikuti 21 peserta dan dibuka oleh Abdul Kahar dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVIII.

Baca berita lainnya di Google News

Komentar